Mari kita melihat bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia kaya dengan makna. Ada yang namanya sinonim, polisemi, homonim, homofon, homograf.
Sinonim diajarkan di sekolah sebagai sama arti. Dalam ilmu lingulistik dikatakan, sinonim adalah kesamaan yang tidak sama. Maksudnya sama namun tidak sama persis. Kita ambil kata “mati” yang netral artinya. Kata mati bersinonim dengan, meninggal, berpulang, tutup usia, wafat, mangkat, tewas, gugur, menutup mata, sudah tiada, meregang nyawa, kehilangan nyawa. Semua kata ini bersinonim tapi tidak persis sama.
Kata mati itu sendiri masih beragam. Ada yang disebut mati mampus, mati konyol, mati lemas, mati sahid, mati suri, mati kutu. Belum termasuk kata mati yang membentuk ungkapan.
Bagaimana kita mengartikan kata-kata dalam bahasa Indonesia?
Ada yang disebut sentral meaning, yaitu arti pokok sebuah kata. Kalau kita menyebut kata “kepala”, maka arti pokoknya adalah bagian tubuh manusia/hewan di bagian atas yang sangat fundandamental. Sedangkan kata kepala negara, kepala daerah, kepala sekolah, kepala desa, dsb merupakan arti turunan.
Marginal meaning, yaitu arti samping, arti turunan dari arti pokok.
Kata “makan“ kegiatan mengisi makanan di mulut (arti pokok), kemudian ada arti turunan seperti, remnya tidak makan, campurannya baku makan, makan hati, makan garam, makan angin, nasihatnya termakan, termakan isu, makan dalam.
Denotation meaning, adalah arti lugas, arti sesungguhnya, sebagai kebalikan dari connotation-meaning yaitu arti tafsir sebuah kata. Misalnya, di taman kami banyak bunga. Kata bunga di sini mengandung arti sebenarnya. Tapi kalau saya mengatakan, ada bunga melintas di mukaku; atau dia benar-benar bunga desa, maka kata bunga di sini mengandung arti tafsir, yaitu gadis atau wanita cantik.
Usual-meaning (arti penggunaan) yaitu sebuah kata mendapatkan ari baru (arti ikutan) gara-gara selalu digunakan dalam konteks tertentu.
Kita ambil contoh kata “gerombolan” dulu artinya netral saja, yaitu kelompok orang atau hewan. Tapi karena kata itu pada masa Gestapu selalu dipakai dalam konteks itu, “gerombolan PKI” akhirnya kata itu mengalami pergeseran arti. Gerombolan kini berkonotasi, kelompok penjahat, perampok, pencuri. Sama halnya dengan kata “perempuan” yang sebenarnya sangat bergengsi.
Pada masa pendudukan Jepang kata ini sering digunakan oleh orang-orang Jepang dalam konteks negatif. Tidak heran kalau kata “perempuan” pernah menjadi momok bagi kaum hawa, dan lebih menyenangi kata “wanita” yang sebenarnya tidak seluhur dengan kata perempuan.
Kontekstual-meaning, yaitu arti menurut konteks, hubungan terdahulu, atau yang sudah dimengerti. Kata “dia” dipahami sebagai piter, karena sebelumnya sudah disebutkan, baik dalam tulisan maupun dalam bahasa lisan.
BNI! Kata seorang penunggu ojek, dan tukang ojek mengerti bahwa orang ini mau turun di kantor BNI.
Lexical-meaning, yaitu arti sebuah kata seperti yang terdapat dalam kamus.
Grammatical-meaning, yaitu arti menurut grammatika atau tata bahasa, disebut juga nosi, dengan penambahan awalan, akhiran, sisipan, atau kombinasi, sebuah kata bisa mengalami perubahan arti. Dia berbaju biru. Artinya dia memakai baju biru. Dia berbaju lima lembar, artinya dia mempunyai.
Demikianlah kata “kerja” bisa dibentuk dengan imbuhan sehingga berlain-lainan arti. Misalnya, bekerja, mengerjakan, pekerja, pekerjaan, mempekerjakan, kinerja.
Reflektif-meaning, arti yang menimbulkan refleks secara spontan apabila mendengar atau menbaca kata-kata itu. Dulu kata “kemaluan” mengandung arti, menderita malu. Sama halnya kata “kehujanan”,”kesakitan”,”kemiskinan” itu berarti menderita. Kini kata kemaluan sudah mengandung arti reflekstif yaitu alat vital. Sama halnya kata “babi” bagi umat Islam mengandung arti reflektif, yaitu haram, najis. Masyarakat Waingapu atau Sumba umumnya, kalau mendengar kata “lobang”,”telor” akan mengandung arti reflektif, pada hal kalau diucapkan “lubang”,”telur” tidak menimbulkan arti reflektif. Mengapa? Ya, kita kembali pada usual-meaning, arti penggunaan. Padahal kata lubang-lobang, telur-telor sebenarnya hanya mengalami gejala bahasa yang disebut ablaut yang sebenarnya tidak mengalami perubahan arti seperti halnya jajar-jejer, kamis-kemis, rabu-rebo, lazat-lezat, musti-mesti.
Frans W. Hebi
Sumber: http://www.maxfm-waingapu.net