Yang diharapkan oleh para guru terutama kepala sekolah menjelang pengumuman hasil UN ialah siswanya lulus semua (100%). tapi apakah memang harus demikian?, menurut saya sih tidak, siswa lulus 100% syukur alhamdulilah, kalaupun tidak, tak masalah, yang penting yang lulus memang pantas lulus dan yang mengulang memang pantas mengulang. Daripada lulus 100% dan semuanya tidak berkualitas, lebih baik lulus sedikit tetapi 100% lulusan berkualitas.
Mulai para pemangku kekuasan sampai dengan para pelaksana pendidikan dan orang tua di Indonesia, melihat prestasi hanya dari segi kuantitas bukan kualitas. Hal ini terlihat dari harapan-harapan yang dikemukakan sebelum ujian, misalnya "Tahun ini kita targetkan SMA lulus 100%". Akibat dari target-target yang pernah dikemukakan, para pengelolah pendidikan mengancam para kepala sekolah dan pendidik di sekolah, "Jika tidak lulus 100% anda di copot...!!!" demikian ancaman yang sering muncul. Efek dari ancaman yang ada ialah para kepala sekolah akan berlaku curang dalam pelaksanaan ujian di sekolah. Jadi jangan heran jika setiap tahun selalu ada saja oknum pendidik yang curang dalam UN. Ini bukan kesalahan oknum pendidik yang curang tetapi kesalahan persepsi publik tentang makna prestasi.
Andai saja, kita melihat prestasi dari kualitas, maka saya meyakini tidak akan pernah ada oknum-oknum yang curang dalam UN. Sebab mereka akan lebih memikirkan kualitas lulusan daripada berpikir bagaimana meluluskan. Malu dong kalau punya lulusan yang tidak berkualitas.
Disamping target yang keliru, hal yang tidak kala penting dan menurut saya ini ngawur yakni perilaku para pihak yang katanya berkepentingan seperti Kementrian, dinas, kepala daerah, yayasan dll. Mereka mengkondisikan UN seolah-olah adalah ujian peghabisan (Lulus atau Mati). sebelum UN misalnya ada kepala daerah yang menerbitkan surat edaran ke sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan belajar tambahan menyongsong UN ditindaklanjuti oleh kepala sekolah dibacakan di depan siswa/i, atau hal lain, mentri melakukan sidak ke sekolah saat ujian sedang berlangsung. Akibat dari tindakan mereka bisa dibayangkan situasi mental dan perasaan siswa/i selama mengikuti ujian.
Akibatnya bagi siswa ialah mereka menjadi tertekan, takut, dan menjadi tidak konsentrasi dalam ujian. Beban yang harus dipikul siswa selama ujian sungguh berat, mereka dihadapkan dengan aturan-aturan yang ketat dan aneh dan sangsi yang menanti, ekspos yang berlebihan, dan yang super aneh pemasangan CCTV di ruang ujian. Bagi saya ini salah satu bentuk kekerasan dan ketidak-adilan bagi siswa.
Harapan saya bagi pemangku kepentingan, ialah supaya perhatian mereka pada pendidikan bukan pada saat UN melainkan jauh hari, sebelum UN berlangsung. Hal itu lebih bijak, sebab lebih efektif untuk meningkatkan mutu. Melakukannya pada saat menjelang UN, tak ubah anda seorang setan pengganggu yang sok perhatian. Memang sulit dibayangkan isi dari batu kepala para pemangku kepentingan, apakah memang mereka konsen terhadap pendidikan atau hanya sebuah cara untuk melanggengkan kekuasaan...