Pendidikan Ignasian merupakan salah satu kekhasan karya Serikat
Yesus. Pada awalnya, St. Ignasius merintis sekolah-sekolah yang disebut
kolese. Namun mula-mula pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik para
calon yesuit saja. Dalam perkembangannya, tidak semua bisa diterima
dalam Serikat Yesus, meski hasil pendidikannya mempunyai keunggulan
yang khas. Oleh karena itu dalam perkembangannya, Serikat Yesus
mempertahankan misi pendidikan kolese ini yang ditujukan bagi kaum muda.
St. Ignasius juga mempunyai pandangan, bahwa pendidikan agama yang
benar harus didasari dengan pengetahuan ilmiah yang cukup, dan tidak
bisa hanya mengandalkan tata kesucian lahiriah. Dari pengalaman St.
Ignasius sendiri yang menempuh pendidikan prestisius di Universitas
Paris, Serikat Yesus sangat menghargai kepentingan pendidikan tinggi
pula.
Di kolese-kolese yesuit, pendidikan Ignasian menjadi model
pembelajaran yang tangguh. Pada tahun 1987 diterbitkan pedoman
pembelajaran Ignasian untuk kolese-kolese dari Curia Generale Serikat
Yesus di Roma. Karena dalam terjemahan Indonesia buku itu diberi sampul
biru, maka kami menyebutnya “buku biru”. Selain itu, para yesuit mulai
memperkenalkan apa yang disebut sebagai “Paradigma Pedagogi Ignasian”.
Di bawah ini kami sarikan sekedarnya, pedoman yang disebut “Paradigma
Pedagogi Ignasian” atau PPI.
PARADIGMA PEDAGOGI IGNASIAN
Paradigma Pedagogi Ignasian terdiri dari tiga unsur utama :
pengalaman, refleksi dan aksi atau tindakan. Namun supaya proses
pembelajaran ini berhasil, perlu diperhatikan adanya unsur
pra-pembelajaran (pre-learning element) yakni konteks (context) dan pasca-pembelajaran (post-learning element), yakni evaluasi (evaluation).
Konteks
Konteks ini bertautan dengan semua faktor yang mendukung atau
pun menghambat proses pembelajaran. Dari sudut pandang administrator dan
guru, hal ini berarti: (i) Pengenalan pribadi dan kepedulian bagi
mahasiswa oleh guru; (ii) lingkungan yang mendukung untuk pembelajaran
dan pertumbuhan dalam keterlibatan pada nilai-nilai.
Dari sudut pandang mahasiswa, konteks ini bertautan dengan kesediaan untuk belajar dan kesiapan untuk tumbuh.
Pengalaman :
Pedagogi Ignasian memastikan bahwa mahasisa mempunyai pengalaman pembelajaran secara penuh, budi, hati dan tangan. Dalam buku, Ignatian Pedagogy: A Practical Approach (1993) yang dikeluarkan oleh International Centre for Jesuit Education
in Roma, dikatakan pengalaman merupakan unsur kunci dalam pendidikan:
“Di sekolah-sekolah Yesuit, pengalaman belajar diharapkan menggerakkan
mahasiswa melampaui sekedar pengetahuan hafalan menjadi pengembangan
kemampuan belajar yang semakin kompleks, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis dan evaluasi.. . . .Kita gunakan istilah pengalaman untuk
melukiskan setiap kegiatan dimana selain pemahaman kognitif, dari bahan
yang dipelajari, mahasiswa juga menangkap kepekaan rasa. . . . Dalam
pedagogi ini, Ignasius menggaris bawahi tahap afektif / evaluatif dari
proses pembelajaran karena ia sadar bahwa selain membiarkan seseorang
‘mengecap dan merasakan’ yakni memperdalam pengalamannya, perasaan
afektif merupakan kekuatan motivasional yang menggerakkan pemahaman
seseorang untuk terlibat dan bertindak.”
Refleksi :
Bagian ini merupakan KUNCI dalam Paradigma
Pedagogi Ignasian. (Inilah sebabnya pedagogi ini menjadi lazim juga
disebut Pedagogi Refleksi). Refleksi merupakan proses dengan mana
mahasiswa membuat pengalaman belajar menjadi miliknya (apropriasi),
memperoleh makna dan arti dari pengalaman pembelajaran untuk dirinya
sendiri dan yang lain. Pedagogi Ignasian melukiskannya sebagai berikut:
”Dengan istilah refleksi kita maksudkan pertimbangan mendalam mengenai
bahan, pengalaman, gagasan, tujuan atau reaksi spontan, dengan maksud
untuk meresapkan signifikansinya secara penuh. Maka refleksi itu
merupakan proses dengan mana makna menjadi kentara dalam pengalaman
manusia…. Pada tahap ini, ingatan, pemahaman, imajinasi dan perasaan
digunakan untuk menangkap makna dan nilai hakiki dari apa yang sedang
dipelajari, untuk menemukan hubungannya dengan aspek-aspek lain dari
pengetahuan dan aktivitas manusia, dan untuk menghargai dalam pencarian
yang terus menerus akan kebenaran dan kebebasan…. Jikalau pembelajaran
berhenti hanya pada pengalaman, maka ini bukan Ignasian. Karena akan
kekurangan pada unsur refleksi dimana mahasiswa dipaksa mempertimbangkan
arti dan makna manusiawi dari apa yang mereka pelajari dan
mengintegrasikan makna itu sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab yang
tumbuh sebagai pribadi yang kompeten, sadar dan bela rasa (competence,
conscience and compassion)
Tindakan :
Tindakan itu bukan sekedar aktivitas, melainkan memuat sikap,
prioritas, komitmen, kebiasaan, nilai-nilai, idealitas, pertumbuhan
internal dari manusia sehingga dia bertindak bagi orang lain. Pedagogi
Ignasian mendefinisikan istilah, dengan merujuk idealitas khusus dari
Ignasius, berusaha tidak hanya mengabdi Allah, tetapi unggul dalam
pengabdian ini, menjadi sesuatu yang lebih (magis) dari yang
dituntut: “Istilah ‘aksi’ merujuk pada pertumbuhan internal manusiawi
berdasar pada pengalaman yang juga sudah direfleksikan sebagai
manifestasi eksternalnya. Aksi meliputi dua langkah (i) Pilihan-pilihan
yang diinternalisir; (ii) Pilihan-pilihan yang dinyatakan secara
eksternal… Ignasius tidak hanya mencari tindakan atau keterlibatan
sembarang melainkan, sementara menghormati kebebasan manusiawi, ia
mengusahakan untuk mendorong keputusan dan keterlibatan untuk pelayanan
yang lebih baik bagi Tuhan dan sesama.
Evaluasi:
Akhirnya evaluasi mengenai perkembangan mahasiswa dalam
penerimaan tujuan-tujuan sekolah dan tujuan mahasiswa sendiri. Sekali
lagi dari Pedagogi Ignasian tertulis : “Namun, Pedagogi Ignasian,
mengarah pada pembentukan, yang tidak hanya menyangkut tetapi juga
melampaui keahlian akademik semata. Dalam hal ini kita berkepedulian
menyangkut pertumbuhan mahasiswa yang menyeluruh sebagai pribadi bagi
yang lain (persons for others). Jadi evaluasi periodik dari
pertumbuhan mahasiswa dalam sikap, prioritas dan tindakan-tindakan,
konsisten dengan pribadi bagi yang lain dan lainnya sebagai esensial.”
Sumber: Pusat Studi Ignasian