Rabu, 02 Mei 2012

Pendidikan Ignasian

Pendidikan Ignasian merupakan salah satu kekhasan karya Serikat Yesus. Pada awalnya, St. Ignasius merintis sekolah-sekolah yang disebut kolese. Namun mula-mula pendidikan ini dimaksudkan untuk mendidik para calon yesuit saja. Dalam perkembangannya, tidak semua bisa diterima dalam Serikat Yesus, meski  hasil pendidikannya mempunyai keunggulan yang khas. Oleh karena itu dalam perkembangannya, Serikat Yesus mempertahankan misi pendidikan kolese ini yang ditujukan bagi kaum muda.
St. Ignasius juga mempunyai pandangan, bahwa pendidikan agama yang benar harus didasari dengan pengetahuan ilmiah yang cukup, dan tidak bisa hanya mengandalkan tata kesucian lahiriah. Dari pengalaman St. Ignasius sendiri yang menempuh pendidikan prestisius di Universitas Paris, Serikat Yesus sangat menghargai kepentingan pendidikan tinggi pula.
Di  kolese-kolese yesuit, pendidikan Ignasian menjadi model pembelajaran yang tangguh. Pada tahun 1987 diterbitkan pedoman pembelajaran Ignasian untuk kolese-kolese dari Curia Generale  Serikat Yesus di Roma. Karena dalam terjemahan Indonesia buku itu diberi sampul biru, maka kami menyebutnya “buku biru”. Selain itu, para yesuit mulai memperkenalkan apa yang disebut sebagai “Paradigma Pedagogi Ignasian”. Di bawah ini kami sarikan sekedarnya, pedoman yang disebut “Paradigma Pedagogi Ignasian” atau PPI.
PARADIGMA PEDAGOGI IGNASIAN
Paradigma Pedagogi Ignasian terdiri dari tiga unsur utama : pengalaman, refleksi dan aksi atau tindakan. Namun supaya proses pembelajaran ini berhasil, perlu diperhatikan adanya unsur pra-pembelajaran (pre-learning element) yakni konteks (context) dan pasca-pembelajaran (post-learning element), yakni evaluasi (evaluation).

Konteks
Konteks ini bertautan dengan semua faktor yang mendukung atau pun menghambat proses pembelajaran. Dari sudut pandang administrator dan guru, hal ini berarti: (i) Pengenalan pribadi dan kepedulian bagi mahasiswa oleh guru; (ii) lingkungan yang mendukung untuk pembelajaran dan pertumbuhan dalam keterlibatan pada nilai-nilai.

Dari sudut pandang mahasiswa, konteks ini bertautan dengan kesediaan untuk belajar dan kesiapan untuk tumbuh.

Pengalaman :
Pedagogi Ignasian memastikan bahwa mahasisa mempunyai pengalaman pembelajaran secara penuh, budi, hati dan tangan. Dalam buku, Ignatian Pedagogy: A Practical Approach (1993)  yang dikeluarkan oleh International Centre for Jesuit Education in Roma, dikatakan pengalaman merupakan unsur kunci dalam pendidikan: “Di sekolah-sekolah Yesuit, pengalaman belajar diharapkan menggerakkan mahasiswa melampaui sekedar pengetahuan hafalan menjadi pengembangan kemampuan belajar yang semakin kompleks, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.. . . .Kita gunakan istilah pengalaman untuk melukiskan setiap kegiatan dimana selain pemahaman kognitif, dari bahan yang dipelajari, mahasiswa juga menangkap kepekaan rasa. . . . Dalam pedagogi ini, Ignasius menggaris bawahi tahap afektif / evaluatif dari proses pembelajaran karena ia sadar bahwa selain membiarkan seseorang ‘mengecap dan merasakan’ yakni memperdalam pengalamannya,  perasaan afektif merupakan kekuatan motivasional yang menggerakkan pemahaman seseorang untuk terlibat dan bertindak.”


Refleksi :
Bagian ini merupakan KUNCI dalam Paradigma Pedagogi Ignasian. (Inilah sebabnya pedagogi ini menjadi lazim juga disebut Pedagogi Refleksi). Refleksi merupakan proses dengan mana mahasiswa membuat pengalaman belajar menjadi miliknya (apropriasi), memperoleh makna dan arti dari pengalaman pembelajaran untuk dirinya sendiri dan yang lain. Pedagogi Ignasian melukiskannya sebagai berikut:

”Dengan istilah refleksi kita maksudkan pertimbangan mendalam mengenai bahan, pengalaman, gagasan, tujuan atau reaksi spontan, dengan maksud untuk meresapkan signifikansinya secara penuh. Maka refleksi itu merupakan proses dengan mana makna menjadi kentara dalam pengalaman manusia…. Pada tahap ini, ingatan, pemahaman, imajinasi dan perasaan digunakan untuk menangkap  makna dan nilai hakiki dari apa yang sedang dipelajari, untuk menemukan hubungannya dengan aspek-aspek lain dari pengetahuan dan aktivitas manusia, dan untuk menghargai dalam pencarian yang terus menerus akan kebenaran dan kebebasan…. Jikalau pembelajaran berhenti hanya pada pengalaman, maka ini bukan Ignasian. Karena akan kekurangan pada unsur refleksi dimana mahasiswa dipaksa mempertimbangkan arti dan makna manusiawi dari apa yang mereka pelajari dan mengintegrasikan makna itu sebagai mahasiswa yang bertanggung jawab yang tumbuh sebagai pribadi yang kompeten, sadar dan bela rasa (competence, conscience and  compassion)
Tindakan :
Tindakan itu bukan sekedar aktivitas, melainkan memuat sikap, prioritas, komitmen, kebiasaan, nilai-nilai, idealitas, pertumbuhan internal dari manusia sehingga dia bertindak bagi orang lain. Pedagogi Ignasian mendefinisikan istilah, dengan merujuk idealitas khusus dari Ignasius, berusaha tidak hanya mengabdi Allah, tetapi unggul dalam pengabdian ini, menjadi sesuatu yang lebih (magis) dari yang dituntut: “Istilah ‘aksi’ merujuk pada pertumbuhan internal manusiawi berdasar pada pengalaman yang juga sudah direfleksikan sebagai manifestasi eksternalnya. Aksi meliputi dua langkah (i) Pilihan-pilihan yang diinternalisir; (ii) Pilihan-pilihan yang dinyatakan secara eksternal…  Ignasius tidak hanya mencari tindakan atau keterlibatan sembarang melainkan, sementara menghormati kebebasan manusiawi, ia mengusahakan untuk mendorong keputusan dan keterlibatan untuk pelayanan yang lebih baik bagi Tuhan dan sesama.

Evaluasi:
Akhirnya evaluasi mengenai perkembangan mahasiswa dalam penerimaan tujuan-tujuan sekolah dan tujuan mahasiswa sendiri. Sekali lagi dari Pedagogi Ignasian tertulis : “Namun, Pedagogi Ignasian, mengarah pada pembentukan, yang tidak hanya menyangkut tetapi juga melampaui keahlian akademik semata. Dalam hal ini kita berkepedulian menyangkut pertumbuhan mahasiswa yang menyeluruh sebagai pribadi bagi yang lain (persons for others). Jadi evaluasi periodik dari pertumbuhan mahasiswa dalam sikap, prioritas dan tindakan-tindakan, konsisten dengan pribadi bagi yang lain dan lainnya sebagai esensial.”


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar