Manusia diciptakan seturut gambar dan citra Allah begitulah kata kitab
suci perjajian lama. Karena di dunia tidak makluk lain yang memiliki gambar dan
rupa sama dengan manusia, maka manusia adalah satu-satunya makluk ciptaan Allah
yang merupakan gambar dan citra Allah. Dalam injil, Yesus mengajarkan kita
tentang cinta kasih, saling menghargai, dan saling menghormati. Ini merupakan
sebagian kecil pandangan kitab suci tentang manusia, yang menjadi dasar iman
dan perilaku kita sebagai manusia. Dalam perlakuan kita terhadap manusia kita
dituntut untuk menghargai harkat dan martabat manusia tersebut. Demikian juga
dalam dunia pendidikan seorang pendidik dituntut untuk meghargai harkat dan
martabat peserta didik.
Fakta di lapangan kita sering menjumpai perlakuan pendidik yang tidak
menghargai kemanusian perserta didik dan berimplikasi pada kekerasan. Kekerasan
yang dimaksud bukan hanya kekerasan fisik termasuk juga kekerasan verbal
seperti menghina, mencemooh, menjelek-jelekan, atau mengejek. Pendidik sering
berdalih bahwa praktik kekerasan merupakan cara untuk mendidik yang efektif
karena menimbulkan efek jerah. Padahal jika dicermati secara lebih mendalam
perlakuan-perlakuan tersebut tidak berimplikasi langsung pada tujuan
pendidikan. Kita pasti pernah dipukul/dicubit karena tidak dapat mengerjakan
tugas atau melanggar peraturan, setelah peristiwa tersebut muncul keinginan
untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sesungguhnya keinginan tersebut
hanyalah bentuk ketakutan kita pada pada hukuman, bukan karena kesadaran.
Ketegasan yang kebablasan
Seorang manusia tidak terkecuali pendidikan memiliki keinginan untuk
menunjukkan kewibawaannya kepada orang lain. Kewibawaan merupakan semangat dan
suasana hubungan antara dua individu atau lebih yang memancarkan kelebihan
seseorang dalam aroma pengakuan dan penerimaan yang nyaman dan tulus dari orang
lain (Prayitno dan Belferik, 2011). Pendidik seringkali menerapkan cara yang
salah untuk menegaskan kewibawaan, seperti memukul atau menghukum perserta
didik. Sebenarnya unsur-unsur kewibawaan ialah pengakuan dan penerimaan, kasih
sayang dan kelembutan, pengutan, tindakan tegas yang mendidik, pengarahan dan
keteladanan, tidak ada satu unsurpun yang berimplikasi kekerasan. Saya pernah
mengalami, seorang guru menutut seluruh siswa dalam sebuah untuk meminta maaf
kepadanya, karena ada siswa dalam kelas tersebut yang melakukan kesalahan
terhadap guru yang bersangkutan. Sebelum para siswa meminta maaf guru tersebut
tidak akan mengajar di kelas tersebut. Ini merupakan salah satu contoh
kekerasan verbal yang dilakukan oleh pendidik dan cara tersebut tidak dapat dibenarkan.
Untuk mengubah perilaku peserta didik yang kurang/tidak dikehendaki harus
dilakukan melalui pengadaran peserta didik atas kekeliruannya itu dengan tetap
menjunjung harkat, martabatnya dan hubungan baik antara siswa dan pendidik
(Raka dkk, 2011), tidak dengan guru marah-marah kepada siswa, karena permintaan
maaf mereka hanya wujud ketakutan pada ancaman guru bukan kesadaran atas
kekeliruan. Pengakuan pendidik terhadap peserta didik merupakan awal dari wujud
bahwa “pendidikan merupakan upaya pemuliaan kemanusiaan manusia” (Prayitno dan
Belferik, 2011). Pengakuan yang dirasakan oleh peserta didik dari pendidik,
akan menumbuhkan hal yang sama pada diri perserta didik terhadap pendidik.
Memang dalam mendidik, pendidik dituntut untuk bersiap tegas, tegas bukan
berarti harus tampil menakutkan di hadapan peserta didik, dengan kekerasan
fisik dan serangan verbal. Menghilangkan kekerasan dan menggantinya dengan
upaya yang konsisten dengan harkat dan martabat manusia, pengakuan dan
penerimaan, kasih sayang, dan kelembutan, merupakan ketegasan yang manusiawi
yang diharapkan dari seorang pendidik.
Kekerasan sesungguhnya hanyalah bentuk ketegasan pendidik yang kebablasan.
Di ujung cambuk ada kekerasan
Masih banyak pihak yang berpendapat bahwa kekerasan masih dibutuhkan
dalam pendidikan, pendapat tersebut secara sengaja menempat kekerasan sebagai
alat pendidikan. Dengan kata lain kalau mau pendidikan berhasil, maka pendidik
harus menerapkan kekerasan (Prayitno dan Belferik, 2011). Dalam implementasinya
di lapangan, pendidik menafsirkan secara tidak proporsional hal ini
mengakibatkan timbulnya kekerasan oleh pendidik kepada peserta di luar
batas-batas kewajaran sebagai manusia yang bermartabat.
Ada ungkapan, “kemarahan guru adalah wujud cinta kepada murid” atau ungkapan
lain”di ujung cambuk guru di sana ada emas”, ungkapan-ungkpan tersebut secara
tidak langsung membenarkan praktik kekerasan pendidik kepada peserta didik.
Padahal kenyataan yang dialami perserta didik bertolak-belakang dengan
ungkapan-ungkapan di atas. Yang dialami peserta didik justru, “kemarahan guru
menimbulkan ketakutan bagi siswa”, atau “di ujung cambuk guru ada kekerasan,
dan di ujung kekerasan ada celaka bagi siswa”, dan efek domino bagi guru “di
ujung kecelakaan ada hukum, dan terakhir penjara menanti”.
Saya berharap untuk kita sepakat untuk menghilangkan kekerasan dalam
bentuk apapun dari dunia pendidikan. Sebab kekerasan justru banyak berimplikasi
negatif bagi peserta didik yang pada akhirnya tidak tercapainya tujuan
pendidikan yang sesungguhnya. Saya pernah bertanya kepada seorang dosen dari Rotterdam
university dalam sebuah seminar, “apa pendapat anda tentang kekerasan yang
sering dilakukan oleh guru di sekolah?. Beliu menjawab singkat sekali “Five-s”
(stupid, stupid, stupid, stupid, and stupid). Dalam penjelasannya, ia
mengatakan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan adalah sebuah kebodohan, dan
kebodohan hanya dilakukan oleh orang-orang bodoh alias tidak berpendidikan.
Mendidik dengan hati
Kekerasan atau hukuman dapat mengakibatkan kesenjangan pada diri
sasaran hukuman seperti, merasa di rendahkan/dihina, cedera fisik, menjauhkan
diri, rusak hubungan pribadi, dan lain-lain. Oleh sebab itu pendidik diharapkan
sebisa mungkin menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan kesenjangan dengan
peserta didik. Salah satu cara untuk menghindari kesenjangan ialah mendidik
dengan hati. Mendidik dengan hati dalam hal ini mendidik dengan kewibawaan yang
memuliakan kemanusiaan manusia. Tindakan tegas yang ambil pendidik bukan
didasarkan pada kondisi negatif pendidik terhadap peserta didik, seperti tidak
senang, marah, tersinggung, tidak puas, merasa dirugikan, dan lain-lain. Segala
tindakan harus didasarkan pada naluri kependidikan yang tidak menghendaki
peserta didik terjerumus kepada kesalahan-kesalahan yang merugikan peserta
didik.
Selama kuliah saya bertemu dengan seorang dosen yang menurut saya ia
adalah sosok pendidik yang tegas dan berwibawa. Setiap mata kuliah yang ia
ampuh, memang tidak kurang 60% mahasiswa tidak lulus, ia adalah pribadi tidak
suka komporomi soal nilai. Tetapi di sisi lain ia sangat di senangi oleh
mahasiswa, ia satu-satunya dosen yang mampu membangun hubungan pribadi yang
baik dengan setiap masiswa didikannya. Ia dapat mengenal sebagian mahasiswa
secara personal, hal tersebut yang membuat mahasiswa tidak sungkan untuk
bertanya kepadanya atau hanya sekedar bercengkerama. Pribadi seperti ini sangat
jarang dijumpai dalam dunia pendidikan kita.
Efek kekerasan menurut psikologi kognitif
Kesenjangan
antara pendidik dan peserta didik yang diakibatkan oleh kekerasan/hukuman dapat
menciptakan hubungan yang kurang harmonis selama proses pendidikan, akibatnya
peserta didik menjadi tidak rileks, dan tertekan. Menurut Rose dan Nicholl
(1997) manusia dapat menerima informasi dengan baik dalam situasi santai,
tenang, dan senang, karena dalam situasi tersebut emosi positif dalam keadaan
aktif, endorphin transmitter (zat-zat keceriaan) terbentuk. Akibatnya otak
dapat berfungsi dengan sendirinya secara efisien. Sedangkan jika timbul emosi
negatif maka otak akan bergeger ke wilayah primitif sehingga banyak informasi
yang tidak sampai ke neokorteks (otak berpikir). Oleh karena itu guru diharus
selalu menciptakan suasana belajar yang santai dalam rasa kebersamaan dan
saling membantu.
Saya ingin
mengambil contoh dari basic
pendidikan saya, yakni pendidikan matematika. Dalam pembelajaran disekolah guru
matematika adalah sosok paling menakutkan. Guru matematika dikenal sebagai
tenaga pengajar yang serius, perfeksionis, dan cenderung “kaku” (Once
Kurniawan, 2005). Sikap serius,
perfeksionis, dan kaku, secara tidak sadar sebenarnya merupakan bentuk-bentuk
kekerasan yang ada dalam pendidikan kita, karena menimbulkan ketakutan dan
ketidak nyamanan bagi peserta didik. Ketakutan dan ketidak-nyamanan beimplikasi
pada konsentrasi belajar yang menurun dan kemerosotan prestasi belajar.
Sumber Pustaka:
Kuniawan, Once. 2004. “Tantangan
dan Kreatifitas Mengajar Matematika di Era Digital”, Jurnal Ilmiah Matematika Statistik, Vol 4, No. 2: 101-103.
Prayitno dan Manullang, Belferik.
2011. Pendidikan Karakter dalam
Pembangunan Bangsa. Jakarta: Grasindo
Raka, Gede dkk. 2011. Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta:
PT Elex Media Komputindo.
Rose, Colin and
Nicholl, J. 1997. Accelerated Learning
For The 21st Century. London: Judi Piatkus.