Agama Marapu adalah "agama asli"
yang masih hidup dan dianut oleh orang Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara
Timur. Adapun yang dimaksud dengan agama Marapu ialah sistem keyakinan
yang berdasarkan kepada pemujaan arwah-arwah leluhur (ancestor worship).
Dalam bahasa Sumba arwah-arwah leluhur disebut Marapu, berarti “yang
dipertuan” atau “yang dimuliakan”. Karena itu agama yang mereka anut disebut Marapu
pula. Marapu ini banyak sekali jumlahnya dan ada susunannya secara
hirarki yang dibedakan menjadi dua golongan, yaitu Marapu dan Marapu
Ratu. Marapu ialah arwah leluhur yang didewakan dan dianggap menjadi
cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan), sedangkan Marapu
Ratu ialah marapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan
leluhur dari para marapu lainnya, jadi merupakan marapu yang
mempunyai kedudukan yang tertinggi. Kehadiran para marapu di dunia nyata
diwakili dan dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas
atau perak (ada pula berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu.
Lambang-lambang suci itu disimpan di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian
atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah pusat) suatu kabihu.
Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan
dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran
terhadap adanya Yang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan
semata-mata kepada arwah para leluhur itu sendiri, tetapi kepada Mawulu
Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.
Pengakuan adanya Yang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau
kalimat kiasan, itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau
peristiwa-peristiwa penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Yang Maha
Pencipta tidak campur tangan dalam urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin
diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut nama-Nya pun dipantangkan.
Sedangkan para Marapu itu sendiri dianggap sebagai media atau perantara
untuk menghubungkan manusia dengan Penciptanya. Kedudukan dan peran para Marapu
itu dimuliakan dan dipercaya sebagai lindi papakalangu – ketu papajolangu
(titian yang menyeberangkan dan kaitan yang menjulurkan, sebagai perantara)
antara manusia dengan Tuhannya. Selain memuja arwah leluhur, bentuk agama yang
disebut Marapu ini percaya juga akan bermacam roh yang ada di alam
sekitar tempat tinggal manusia sehingga perlu pula dipuja, percaya bahwa
benda-benda dan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya berjiwa dan berperasaan seperti
manusia, dan percaya tentang adanya kekuatan gaib pada segala hal atau benda
yang luar biasa. Untuk mengadakan hubungan dengan para arwah leluhur dan
arwah-arwah lainnya, orang Sumba melakukan berbagai upacara keagamaan yang
dipimpin oleh ratu/wunang (pendeta) dan didasarkan pada suatu kalender
adat yang disebut Tanda Wulangu. Kalender adat itu tidak boleh diubah
atau ditiadakan karena telah ditetapkan berdasarkan huku-harang (hukum
dan tata cara) dari para leluhur. Bila diubah dianggap akan menimbulkan
kemarahan para leluhur dan akan berakibat buruk pada kehidupan manusia. Dalam
kepercayaan agama Marapu, roh ditempatkan sebagai komponen yang paling
utama, karena roh inilah yang harus kembali kepada Mawulu Tau-Majii Tau.
Roh dari orang yang sudah mati akan menjadi penghuni Parai Marapu
(negeri arwah, surga) dan dimuliakan sebagai Marapu bila semasa hidupnya
di dunia memenuhi segala nuku-hara yang telah ditetapkan oleh para
leluhur. Menurut kepercayaan tersebut ada dua macam roh, yaitu hamangu
(jiwa, semangat) dan ndiawa atau ndewa (roh suci, dewa). Hamangu
ialah roh manusia selama hidupnya yang menjadi inti dan sumber kekuatan
dirinya. Berkat hamangu itulah manusia dapat berpikir, berperasaan dan
bertindak. Hamangu akan bertambah kuat dalam pertumbuhan hidup, dan
menjadi lemah ketika manusia sakit dan tua. Hamangu yang telah
meninggalkan tubuh manusia akan menjadi makhluk halus dengan kepribadian
tersendiri dan disebut ndiawa. Ndiawa ini ada dalam semua makhluk hidup,
termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, yang kelak menjadi penghuni parai marapu
pula. Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa
keagamaan. Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan
mereka, sebagai sumber nilai-nilai dan pandangan hidup serta mempunyai pengaruh
besar terhadap kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Karena itu tidak terlalu
mudah mereka melepaskan keagamaannya untuk menjadi penganut agama lain.
Walaupun dalam budaya Sumba tidak dikenal bahasa tulisan, orang Sumba mempunyai
kesusasteraan suci yang hidup dalam ingatan para ahli atau pemuka-pemuka agama
mereka. Kesusasteraan suci ini disebut Lii Ndai atau Lii Marapu
yang diucapkan atau diceriterakan pada upacara-upacara keagamaan diiringi
nyanyian adat. Kesusasteraan suci dianggap bertuah dan dapat mendatangkan
kemakmuran pada warga komunitas dan kesuburan bagi tanaman serta binatang
ternak. Upacara-upacara keagamaan dan lingkaran hidup yang mereka laksanakan,
terutama upacara kematian, diselenggarakan secara relatif mewah sehingga
memberi kesan pemborosan. Namun bagi orang Sumba, hal tersebut mereka lakukan
untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Esa, tanda hormat dan
bakti pada para leluhur, serta menjalin rasa solidaritas kekerabatan di antara
mereka. Pada setiap upacara keagamaan berbagai bentuk kesenian biasanya
ditampilkan pula. Dapat dikatakan bahwa kesenian merupakan pengiring bagi
religi mereka. Upacara-upacara keagamaan di Sumba selalu dianggap keramat,
karena itu tempat-tempat upacara, saat-saat upacara, benda-benda yang merupakan
alat-alat dalam upacara serta orang-orang yang menjalankan upacara dianggap
keramat pula. Mereka menyembah Mawulu Tau — Majii Tau dengan perantaraan
para marapu yang merupakan media antara manusia dengan Penciptanya.
Setiap kabihu mempunyai marapu sendiri yang dipujanya agar segala
doa dan kehendaknya disampaikan kepada Maha Pencipta. Para marapu itu
diupacarakan dan dipuja di dalam rumah-rumah yang didiami oleh warga suatu kabihu
terutama di rumah yang disebut uma bokulu (rumah besar, rumah pusat)
atau uma bungguru (rumah persekutuan). Di dalam rumah itulah dilakukan
upacara-upacara keagamaan yang menyangkut kepentingan seluruh warga kabihu,
misalnya upacara kelahiran, perkawinan, kematian, menanam, memungut hasil dan
sebagainya. Tempat upacara pemujaan kepada para marapu bukan hanya di
dalam rumah saja, tetapi juga di luar rumah, yaitu di katoda, tempat
upacara pamujaan di luar rumah berupa tugu (semacam lingga-yoni) yang
dibuat dari sebuah baut atau sebatang kayu kunjuru atau kayu kanawa
yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Di atas batu pipih inilah
bermacam-macam sesaji, seperti pahapa (sirih pinang), kawadaku
(keratan mas) dan uhu mangejingu (nasi kebuli) diletakkan untuk
dipersembahkan kepada Umbu-Rambu (dewa-dewi) yang berada di tempat itu.

Menurut pandangan orang Sumba, manusia merupakan bagian dari alam semesta yang tak terpisahkan. Hidup manusia harus selalu disesuaikan dengan irama gerak alam semesta dan selalu mengusahakan agar ketertiban hubungan antara manusia dengan alam tidak berubah. Selain itu manusia harus pula mengusahakan keseimbangan hubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib yang ada di setiap bagian alam semesta ini. Bila selalu memelihara hubungan baik atau kerja sama antara manusia dengan alam, maka keseimbangan dan ketertiban itu dapat dipertahankan. Hal tersebut berlaku pula antara manusia yang masih hidup dengan arwah-arwah dari manusia yang sudah mati. Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar segala huku-harang sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka manusia harus melaksanakan berbagai upacara. Saat-saat upacara dirasakan sebagai saat-saat yang dianggap suci, genting dan penuh dengan bahaya gaib. Oleh karena itu, saat-saat upacara harus diatur waktunya agar sejajar dengan irama gerak alam semesta. Pengaturan waktu untuk melakukan berbagai upacara itu didasarkan pada kalender adat, tanda wulangu. Dalam jangka waktu kehidupan tiap individu dalam masyarakat Sumba ada saat yang dianggap genting atau krisis, yaitu saat kelahiran, menginjak dewasa, perkawinan dan kematian. Pada saat-saat seperti itulah upacara keagamaan biasanya dilaksanakan.
Sumber: wikipedia.com