Matematika sebagai mata pelajaran paling tidak sukai oleh sebagian besar siswa khususnya Indonesia, sudah bukan rahasia lagi. Pandangan masyarakat bahwa pelajaran matematika sulit, telah meracuni cara berpikir anak-anak yang akan mempelajari matematika. Pandangan keliru tersebut telah membelenggu masyarakat sehingga siswa sulit untuk membebaskan diri dan hanya menyerah serta menerima kanyataan bahwa pelajaran matematika sulit untuk dipahami dan dipelajari.
Untuk menjadikan matematika sebagai pelajaran yang menarik dibutuhkan perjuangan dan kerja keras dari semua pihak terutama guru matematika. Anggapan matematika sebagai pelajaran yang sulit, sudah menjadi permasalahan yang kompleks. Permasalahan ini telah melibatkan aspek psikologi, sosial, dan hukum.
Sebagai langkah awal perubahan, metode pembelajaran di kelas harus diubah dengan memperhatikan faktor kenyamanan siswa selama mengikuti kegiatan belajar mengajar. Salah satu cara yaitu memperhatikan cara kerja otak manusia. Menurut Rose dan Nicholl (1997:48) manusia dapat menerima informasi dengan baik dalam situasi santai, tenang, dan senang, karena dalam situasi tersebut emosi positif dalam keadaan aktif, endorphin transmitter (zat-zat keceriaan) terbentuk. Akibatnya otak dapat berfungsi dengan sendirinya secara efisien. Sedangkan jika timbul emosi negatif maka otak akan bergeger ke wilayah primitif sehingga banyak informasi yang tidak sampai ke neokorteks (otak berpikir). Pengkondisian ruang kelas yang nyaman untuk ditempati adalah salah satu cara yang tepat. Selain itu guru harus selalu menciptakan suasana belajar yang santai dalam rasa kebersamaan dan saling membantu. Guru matematika dikenal sebagai tenaga pengajar yang serius, perfeksionis, dan cenderung “kaku” (Once Kurniawan, 2005:102). Ketakutan akan pelajaran dan guru menambah lengkapnya ketidaksukaan siswa dalam pelajaran Matematika yang akhirnya mereka cenderung menolak.
Otak berpikir manusia (neocertex) yang terdiri dari belahan kiri dan kanan haruslah diperlakukan seimbang. Dalam pembelajaran di sekolah yang terjadi bahwa keduanya tidak diperlakukan seimbang. Garner menyatakan bahwa sistem sekolah lebih banyak mengajar, mengetes, memaksa, dan menghargai kemampuan verbal, logika, matematika (Ronis, 2011:57). Hal tersebut menunjukkan sekolah hanya mengembangkan belahan otak kiri. Harus diketahui bahwa belahan otak kiri hanya berhubungan dengan memori kerja (sort term memory), dan belahan otak kananlah yang berhubungan dengan memori jangka panjang (long term memory). Sehingga informasi yang dikelolah oleh belahan otak kanan tersimpan dalam waktu yang lama dan dapat diingat kembali ketika dibutuhkan. Pembelajaran konvesional yang selama ini digunakan, dimana guru sebagai aktor utama yang aktif, dan siswa sebagai penonton yang pasif merupakan salah satu contoh pembelajaran yang tidak melibatkan otak kanan. Pembelajaran dengan otak kanan, menjadikan siswa sebagai aktor utama, siswa yang aktif mencari, menemukan, dan mengolah informasi menjadi ilmu pengetahuan. Misalnya, dalam pembelajaran menghitung luas, siswa diminta untuk mengukur luas lapangan upacara bendera, dalam kegiatan tersebut siswa akan terlihat aktif melakukan pengukuran perhitungan menggunakan pengetahuan yang ia peroleh sebelumnya. Suatu saat ketika ia ditanyakan pembelajaran menghitung luas akan dengan muda ia mengingatnya, dengan cara ia membayangkan kegiatan yang ia lakukan selam proses pembelajaran. Coba kita bandingkan, jika pembelajarannya diganti dengan guru memberikan contoh dan menjelaskan cara penggunaan rumus di depan kelas. Siswa akan kesulitan mengingat informasi tersebut dalam waktu yang cukup lama, karena ia kesulitan untuk membayangkan kembali peristiwa tersebut, kalaupun ia dapat mengingatnya pasti ada informasi yang hilang.
Pembelajaran dengan cara kerja otak merupakan cara belajar alamiah seseorang. Seseorang diberikan kebebebasan untuk memilih cara belajar yang cocok baginya. Dengan kebebasan yang diberikan seseorang (siswa) tidak lagi merasa terbebani, akibatnya siswa dapat membangun pembelajaran yang bermakna bagi dirinya sendiri dan mendorongnya untuk meningkatkan pemahamannya. Dalam pembelajaran siswa akan terlihat lebih aktif dalam mencari dan menemukan pemahaman baru. Pengetahuan yang diperolehnya tidak akan mudah hilang dan akan menjadi bagian dari pribadinya. Dengan pembelajaran yang disesuaikan dengan cara kerja otak guru tidak lagi memaksa siswa untuk belajar dengan metode yang tidak menarik bagi siswa, melainkan guru mendorong siswa untuk belajar dengan kekuatan yang ia miliki. Guru perlu menyadari bahwa setiap orang memiliki cara belajar yang unik. Oleh karena itu dalam pembelajaran di kelas guru diharapkan menggunakan berbagai macan strategi yang variatif, kerana tidak mungkin satu strategi cocok untuk semua siswa.
Dengan pembelajaran cara kerja otak menghindari guru dari penyampaian matematika yang konseptual dan teoritis, sehingga matematika menjadi lebih menarik bagi siswa. Fakta yang ada, Penyajian matematika dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi mengarah pada perhitungan yang abstrak dan konseptual, sangat teoritis dan satu arah (Once Kurniawan, 2005:102). Pembelajaran matematika yang diajarkan seolah-olah tanpa makna, karena siswa mempelajari matematika di sekolah tanpa tujuan yang jelas dan tidak memiliki kaitan dengan dunia dan alam pikir siswa. Dengan tujuan yang jelas siswa tahu manfaat dari materi yang ia sedang pelajari, hal tersebut bisa menjadi motivasi bagi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Salah satu prinsip dari kegiatan belajar mengajar yaitu belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu (Hamalik, 2009:54). Sebagai contoh, dalam pembelajaran integral guru hanya menjelaskan integral sebagai anti turunan, serta rumus-rumus. Hal tersebut akan membuat siswa menjadi malas untuk mengikuti pelajaran, sebab mereka tidak tahu untuk apa mempelajari integral, akan berbeda bila siswa tahu untuk apa ia harus belajar integral.