Aneh,
membumikan Pancasila sila di negerinya sendiri, tapi memang harus dibumikan
sebab Pansila belum membumi di negeri bahkan makin hari makin melayang jauh
dari buminya. Fakta ang paling sederhana saat ini ada banyak anak bangsa ini,
bangsa yang berdasarkan pancasila yang tidak mampu menghafalkan lima butir pancasila,
apalagi mengamalkan nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Menurut
Sri Sultan Hamengku Buwono X (dikutip dari Kompas), "Implementasi nilai luhur Pancasila masih sangat
jauh dari harapan. Kedudukan Pancasila sebagai penuntun kehidupan berbangsa dan
bernegara belum mampu diimplementasikan masyarakat". Lebih parah lagi
seperti yang di ungkapkan Hasyim Muzadi (Kompas),
menurutnya, semenjak lahir pada 1945 sampai sekarang, Pancasila
sebenarnya belum membumi secara ideal optimal di Indonesia. Pada 1948, sudah
ada pemberontakan PKI Madiun yang berusaha membawa Indonesia ke dalam
komunisme. Selanjutnya ada DI/TII yang hendak mendirikan negara Islam pada
1949. Pada tahun yang sama keluar maklumat Wakil Presiden dalam pembentukan
multipartai yang membawa arus liberalisme. Sehingga Pemilu 1955 melahirkan
konstituante yang berisi pertikaian ideologi antara negara Islam, negara
Pancasila, dan sosiodemokrasi. Akhirnya, pertikaian itu berujung kembali ke UUD
1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Periode berikutnya, yakni 1960 hingga
1966, Pancasila juga belum bisa diterapkan karena Indonesia berada dalam
suasana revolusioner. Pancasila, menurut Hasyim, mulai diterapkan pada era Orde
Baru, hanya saja pelaksanaannya normatif artifisial, belum menyentuh kejiwaan
bangsa, dan diterapkan dalam suasana stabilitas yang sentralistik.
"Seharusnya,
dengan lahirnya reformasi, bangsa Indonesia perlu mengkaji ulang apakah sistem
yang lahir telah sejalan dengan nilai-nilai yang dikehendaki Pancasila atau
belum," katanya. Namun, kenyataannya sejak memasuki era reformasi hingga
sekarang, Pancasila justru semakin terpinggirkan. "Didesak reformasi yang
memanglimakan demokrasi dan HAM tanpa keseimbangan dengan kewajiban kebangsaan.
Pancasila, Ideologi yang terabaikan
Jika kita cermati, ideologi
pancasila di masyarakat sama sekali tidak tampak lagi, bahkan di dunia
pendidikan sudah tidak diajarkan lagi. Hal ini dapat saya asumsikan bahwa ada
upaya sistematis dari penguasa untuk secara diam-diam untuk menghilangkan ideologi
Pancasila dari bumi Indonesia. Kajian
pendidikan Pancasila dilakukan Sekolah Tanpa Batas yang didukung Koalisi
Pendidikan dan IGCI, menemukan fakta materi Pancasila dalam pendidikan
kewarganegaraan minim dan hanya sebagai tempelan. Bambang Wisudo dari Sekolah
Tanpa Batas memaparkan, di tingkat SD misalnya, materi Pancasila dalam
pendidikan kewarganeraan diajarkan di kelas 2 dan 6 dengan porsi kecil. Di SMP
diajarkan di kelas VIII, sedangkan di SMA di kelas XII. Materi pendidikan
kewarganegaraan yang disajikan di sekolah dinilai memberatkan. Di jenjang SD
sudah dikenalkan soal ketatanegaraan. Padahal, semestinya di jenjang inilah
pendidikan Pancasila semestinya untuk membangun karakter anak bangsa. Adapun di
jenjang SMP dan SMA materi pendidikan kewarganegaraan seakan-akan hendak
menjadikan siswa ahli tata negara. Semestinya di jenjang ini, siswa diajarkan
untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, aktif, dan kritis menyikapi
situasi sosial dan kewarganegaraan (kompas).
Dampak dari hilangnya nilai-nilai Pancasila sangat
jelas di masyarakat kita, diantaranya Korupsi, kolusi, Nepotisme, kekerasan dan
masih banyak lagi. Pengabaian Ideologi Pancasila sebagai dasar negara dan
falsafah pancasila sebagai filosofi kebangsaan, semakin mepermudah masuknya
ideologi-ideologi asing akibatnya bangsa ini sulit untuk menemukan jati dirinya
sendiri yang sebenarnya sudah sangat jelas tertuang dalam batang tubuh
Pancasila.
Pengkultusan
Perseorangan
Semakin jauhnya Pancasila terbang meninggalkan
negeri ini dan semakin dangkalnya pemahaman anak bangsa ini akan Pancasila
menyebabkan mereka mencari penggangan di luar Pancasila. Akhir-akhir ini,
muncul pengkultusan oran-orang tertentu sebagai pijakan atau dasar berpikir,
berbicara, dan bertindak kekelompok tertentu. Pribadi yang dikultuskan
diantaranya ada tokoh politik dan ada juga tokoh agama. Hal ini sangat sering muncul
di tv, dan sering diungkapkan oleh para politikus. Ada suatu kelompok yang
mengkultuskan pimpinannya sebagai tolok ukur dalam bertindak dan menjadikannya rujukkan
dalam setiap pernyatan. Ada kelompok dalam tindakan menirukan orang tertentu
dalam cakap dan tingkah lakunya, padahal sebelumnya ia bukanlah pribadi yang
demikian. Contoh, ada salah satu partai di Indonesia, yang sebagian besar
kadernya menirukan gaya berbicara ketua dewan pembinanya, denga ritme yang
terjaga dan tekanan yang seolah berwibawa. Ada juga kelompok tertentu yang
bertindakan lebih mendengarkan pimpinanya, sampai-sampai harus melanggar
rambu-rambu yang ada di masyrakat.
Dampak dari tindakan yang didasarkan pada
hasil pengkultusan yang dimaksud tidaklah selalu buruk. Tetapi dengan
meninggalkan nilai-nilai Pancasila justru muncul tindakan yang seharusnya tidak
boleh terjadi di negeri. Misalnya untuk kelompok tertentu muncul tindakan
kekerasan yang merendahkan hakat dan martabat manusia. Padahal bangsa ini punya
filosifo budaya “Ngewonke wong” yang
dapat diartikan, meninggikan harkat dan martabat manusia.
Kembalikan
Pancasila
Mengubah sesuatu yang sudah terlanjur tidaklah
mudah, bahkan lebih mudah terlanjur sekalian, ibaratkan “Terlanjur basah mandi sekalian”. Tetapi jika
kita masih peduli pada bangsa ini, jangan pernah menyerah, lakukan apa yang
bisa kita lakukan. Reformasi salah satu caranya, reformasi tidak harus dengan
revolusi. Bisa dilakukan reformasi sistem, kita berharap kepada para pemegang
kendali sistem, masih mempunyai keinginan untuk mengembalikan Pancasila pada
kedudukan yang lebih tinggi dari ideologi yang ada. Mengembalikan Pancasila
bagi saya, sama dengan mengembalikan jati diri bangsa yang hilang.
Pesan saya
untuk kita semua: Tidak perlu kita terlalu jauh untuk mencari jati diri kita,
jati diri bangsa kita, kita hanya perlu kembali kepada jati kita yang
sesungguhnya yaitu PANCASILA.
Sumber:
1. disarikan dari Kompas, hari Pancasila 2012