Senin, 25 Juni 2012

PENDIDIKAN MORAL MATEMATIKA DAN MORAL PENDIDIK




Akhir-akhir ini marak terjadi tindak kejahatan. Hebatnya tindak kejahatan tersebut dilakukan hampir semua kalangan baik itu orang berpendidikan maupun tidak berpendidikan, pejabat maupun rakyat jelata, orang kaya maupun orang miskin, termasuk para orang suci (katanya). Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa sedemikian parahnya moralitas bangsa? apakah ini bangsa binatang? ataukah sebangsa binatang?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kedengarannya sangat ekstrim, tapi faktanya memang demikian. Buktinya Tidak hari di negeri ini media cetak maupun elektronik tidak memberitakan tindakan kejahatan atau kriminal, misalnya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, kasus pembunuhan, pemerkosaan di angkutan umum, pelecehan seksual oleh guru di sekolah. Pertanyaan-pertanyaan di atas mari kita renung bersama-sama, untuk dapat memahami siapa kita sebenarnya, dan bangsa ini yang sebenarnya.
ilustrasi: karakterbangkit.blogspot.com
Menanggapi perilaku-perilaku buruk ini, orang-orang prihatin melempar sebuah wacana untuk disertakannya pendidikan moral dalam kurikulum sekolah. Ini salah satu reaksi orang yang menyadari kondisi bangsa. Yang menjadi persoalan pendidikan moral seperti apa yang mau disertakan dalam kurikulum?. Bagi saya wacana tersebut kurang tepat, mungkin saya dikemukakan oleh orang yang tidak mengerti pendidikan yang utuh. Sebab pendidikan itu sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat. Menurut Prof. Schoorl (1982) berpendapat bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan sumber daya manusia dengan derajat moralitas tinggi. Jadi, tidak perlu ada penyertaan pelajaran baru tentang moral dalam kurikulum pendidikan, yang perlu dilakukan ialah, menjadikan moralitas manusia sebagai tujuan pendidikan bukan hanya standar nilai. Perlu diketahui oleh para pendidik bahwa, yang diterima umum oleh masyarakat ialah moral bukan nilai. yang diperhatikan orang dalam kehidupan sehari-hari bukan nilai indeks prestasi yang kita miliki, melainkan seberapa baik kita berperilaku. Intinya ialah moral dan prestasi akademik harus seimbang karena disaat-saat tetentu kita butuh keduanya.


Masih terkait dengan pendidik moral, saya membaca beberapa artikel tentang pendidikan moral, saya menemukan pernyataan yang kurang lebihnya seperti ini, "... guru matematika yang hanya bisa bermain dengan angka pun harus terlibat dalam pendidikan moral". Bagi saya, ini adalah pernyataan yang keliru dan saya meyakini bahwa orang yang mengatakannya bukan orang matematika. Perlu dipahami secara luas bahwa matematika tidak sesederhana yang anda bayangkan, matematika itu bukan hanya soal angka dan bermain angka. Matematika itu luas dan universal, tidak berlebihan jika saya katakan : "matematika adalah ilmu paling komplit dan paling lengkap dari seluruh ilmu yang pernah ada di dunia ini". Saya boleh katakan "saya, anda, dan dunia ini adalah matematika. Tidak satu sisi kehidupan pun di dunia yang tidak dapat dipahami dengan matematika. Contoh, Mathematic is language: matematika adalah bahasa, dan matematika adalah satu-satunya bahasa yang berlaku universal, misalnya ada pernyataan 3+7, maka orang Indonesia, Amerika, Eropa, Asia, Afrika, Australia atau dari mana saja, pasti mempunyai pemkiran dan bayangan yang sama dalam  otaknya, sebaliknya jika ada kata "air", apakah orang Indonesia dan orang inggris mempunyai bayangan yang sama dalam otaknya?. Hal lain Mathematic is a rule, satu-satunaya ilmu yang konsisten dan taat asas. Dalam hukum-hukum atau aturan-aturan matematika tidak ada satu butir pernataan  yang saling bertentangan dalam satu struktur pengetahuan, berbeda dengan undang-undang di negeri ini satu pasal saja bertentangan. dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bicara tentang moral, bagi pendidikan moral paling sempurna ada dalam matematika. Matematika mengajarkan tentang kedisiplinan, taat asas, konsistensi, intinya dalam anda melanggar aturan main maka konsekuensinya anda akan memperoleh output yang keliru. Akibat orang matematika memiliki kecenderungan untuk tidak melanggar aturan sehingga kesannya orang matematika perfeksionis. Inilah sesungguhnya dasar moral yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang termasuk bangsa ini, yakni keinginan untuk tidak melanggar aturan yang ada, memiliki ketakutan membuat kesalahan, memiliki keinginan untuk tidak gagal. Dalam matematika yang utuh semuanya sudah tersedia, yang diperlukan ialah bagaimana kita menghayatinya sehingga tidak keliru. Pendidikan moral yang paling nyata ada dalam pelajaran logika matematika. Yang anda masih memahami matematika sebagai permainan angka, saya nyatakan matematika anda gatal (gagal total).

Moral Pendidik.
 Mana yang lebih penting, tuntutan profesionalitas atau tuntutan perut?.
Bagi seorang guru kedua tuntutan tersebut sama pentingnya, jadi tidak boleh ada salah satunya terabaikan. Tuntutan perut menyangkut keberlangsungan hidupnya, dan profesionalitas menyangkut kebergunaannya sebagai manusia yang memanusiakan manusia yang lain. Tetapi yang terjadi saat ini ialah guru melupakan fungsinya sebagai manusia yang memanusiakan manusia yang lain, ia meninggalkan kodratnya sebagai guru, ia bekerja tak ubahnya seorang upahan yang semata-mata mengharapkan gaji untuk kebutuhan perut. Dampak yang terjadi ialah guru tidak lagi bekerja sebagai seorang pendidik, ia hanya seorang pengajar yang mengajarkan materi-materi pembelajaran yang tekstual, salinan dari buku yang sebenarnya bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Ilmu kependidikan tidak dipergunakan lagi. Nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan yang terkandung dalam pelajaran menjadi terabaikan dan hilang, yang tersisa hanya angka-angka kosong yang digoreskan oleh sang kuli dalam buku yang namanya laporan pendidikan. 

ilustrasi: uniksaja92.blogspot.com
Yang paling menyedihkan, semakin hari makin tidak karuan saja perilaku perilaku yang ditunjukkan oleh para patriot bangsa ini (oknum). Hal-hal tidak senonoh mereka pertontonkan kepada publik dan para siswa didiknya, sering kita melihat di tv atau baca di koran, oknum guru yang melakukan kekerasan terhadap siswa, atau oknum guru yang berbuat mesum di sekolah atau guru yang melakukan pelecehan seksual terhadap siswa. Tindakan kekerasan seringkali diarahkan pada siswa yang dianggap bodoh. hal ini sebenar bukanlah langkah tepat dari seorang guru dengan dasar ilmu pendidikan yang baik. Dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan belajar perlu memperhatikan prosedur-prosedur tertentu, misalnya, untuk siswa memiliki kesulitan dalam pelajaran tertentu, guru dalam melakukan penanggulangan diharapkan menggunakan langkah-langkah diagnosis dan remediasi. Hukuman pada kasus tertentu mungkin diperlukan tapi sangat sedikit membawa efek positif. Tindakan yang manusiawi dari seorang guru membawa kesan tersendiri  bagi para siswa.
Yang mengherankan, mengharukan, menjengkelkan ialah tindakan beberapa oknum guru yang melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap para siswa didiknya sendiri, yang dikenal oleh masyarakat dengan ungkapan pagar makan tanaman. Wajar kalau masyarakat menyebutnya sebagai pagar makan tanaman, sebab para siswa itu seyogianya merupakan titipan dari orang tua pada guru yang bersangkutan, karena guru tersebut dianggap mampu mendidik, mengajar, dan menjaga anaknya. Tetapi fakta yang didapat berkata lain, kepercayaan yang diberikan dirusak oleh moralitasi guru yang buruk. Untuk kasus seperti ini seharus pihak-pihak terkait perlu mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang bersangkutan. Melakukan pembiaran terhadap yang bersangkutan ibarat menyembunyikan luka yang pada akhirnya mematikan. Tindakan mereka tersebut sudah merusak tatanan dan kultur pendidikan dari sekolah sebagai institusi pendidikan (tempat pembentukan moral manusia). Dan juga sebenarnya yang bersangkutan sudah tidak lagi mempunyai kredibiltas sebagai seorang guru. Solusi terbaik berhenti dan tidak pernah bermimpi lagi untuk menjadi seorang guru. Pada dirinya tak berlaku lagi ungkapan filosofi jawa: "Guru digugu lan ditiru", ungkapan yang pantas baginya ialah "Guru wagu lan saru".

Segala tindakan manusia adalah cerminan dari kompetensi pendidikan yang ia miliki, nilai akademik yang tinggi tidak menjamin seseorang akan menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Pantaskanlah diri kita sebagai manusia yang berkualitas sesuai dengan nilai kita miliki dengan perilaku yang manusiawi.
 "educate with love"

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar