ilustrasi: karakterbangkit.blogspot.com |
Menanggapi
perilaku-perilaku buruk ini, orang-orang prihatin melempar sebuah wacana untuk
disertakannya pendidikan moral dalam kurikulum sekolah. Ini salah satu reaksi
orang yang menyadari kondisi bangsa. Yang menjadi persoalan pendidikan moral
seperti apa yang mau disertakan dalam kurikulum?. Bagi saya wacana tersebut
kurang tepat, mungkin saya dikemukakan oleh orang yang tidak mengerti
pendidikan yang utuh. Sebab pendidikan itu sejatinya merupakan proses
pembentukan moral masyarakat. Menurut Prof. Schoorl (1982) berpendapat bahwa
praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan sumber
daya manusia dengan derajat moralitas tinggi. Jadi, tidak perlu ada penyertaan
pelajaran baru tentang moral dalam kurikulum pendidikan, yang perlu dilakukan
ialah, menjadikan moralitas manusia sebagai tujuan pendidikan bukan hanya
standar nilai. Perlu diketahui oleh para pendidik bahwa, yang diterima umum
oleh masyarakat ialah moral bukan nilai. yang diperhatikan orang dalam
kehidupan sehari-hari bukan nilai indeks prestasi yang kita miliki, melainkan
seberapa baik kita berperilaku. Intinya ialah moral dan prestasi akademik harus
seimbang karena disaat-saat tetentu kita butuh keduanya.
Masih
terkait dengan pendidik moral, saya membaca beberapa artikel tentang pendidikan
moral, saya menemukan pernyataan yang kurang lebihnya seperti ini, "...
guru matematika yang hanya bisa bermain dengan angka pun harus terlibat dalam
pendidikan moral". Bagi saya, ini adalah pernyataan yang keliru dan saya
meyakini bahwa orang yang mengatakannya bukan orang matematika. Perlu dipahami
secara luas bahwa matematika tidak sesederhana yang anda bayangkan, matematika
itu bukan hanya soal angka dan bermain angka. Matematika itu luas dan
universal, tidak berlebihan jika saya katakan : "matematika adalah ilmu
paling komplit dan paling lengkap dari seluruh ilmu yang pernah ada di dunia
ini". Saya boleh katakan "saya, anda, dan dunia ini adalah
matematika. Tidak satu sisi kehidupan pun di dunia yang tidak dapat dipahami
dengan matematika. Contoh, Mathematic is language: matematika adalah
bahasa, dan matematika adalah satu-satunya bahasa yang berlaku universal,
misalnya ada pernyataan 3+7, maka orang Indonesia, Amerika, Eropa, Asia,
Afrika, Australia atau dari mana saja, pasti mempunyai pemkiran dan bayangan
yang sama dalam otaknya, sebaliknya jika ada kata "air",
apakah orang Indonesia dan orang inggris mempunyai bayangan yang sama dalam
otaknya?. Hal lain Mathematic is a rule, satu-satunaya ilmu yang
konsisten dan taat asas. Dalam hukum-hukum atau aturan-aturan matematika tidak
ada satu butir pernataan yang saling bertentangan dalam satu struktur
pengetahuan, berbeda dengan undang-undang di negeri ini satu pasal saja
bertentangan. dan masih banyak lagi yang lainnya.
Bicara
tentang moral, bagi pendidikan moral paling sempurna ada dalam matematika.
Matematika mengajarkan tentang kedisiplinan, taat asas, konsistensi, intinya
dalam anda melanggar aturan main maka konsekuensinya anda akan memperoleh output
yang keliru. Akibat orang matematika memiliki kecenderungan untuk tidak
melanggar aturan sehingga kesannya orang matematika perfeksionis. Inilah
sesungguhnya dasar moral yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang termasuk
bangsa ini, yakni keinginan untuk tidak melanggar aturan yang ada, memiliki ketakutan
membuat kesalahan, memiliki keinginan untuk tidak gagal. Dalam matematika yang
utuh semuanya sudah tersedia, yang diperlukan ialah bagaimana kita
menghayatinya sehingga tidak keliru. Pendidikan moral yang paling nyata ada
dalam pelajaran logika matematika. Yang anda masih memahami matematika sebagai
permainan angka, saya nyatakan matematika anda gatal (gagal total).
Moral Pendidik.
Mana yang lebih penting, tuntutan profesionalitas atau
tuntutan perut?.
Bagi
seorang guru kedua tuntutan tersebut sama pentingnya, jadi tidak boleh ada
salah satunya terabaikan. Tuntutan perut menyangkut keberlangsungan hidupnya,
dan profesionalitas menyangkut kebergunaannya sebagai manusia yang memanusiakan
manusia yang lain. Tetapi yang terjadi saat ini ialah guru melupakan fungsinya
sebagai manusia yang memanusiakan manusia yang lain, ia meninggalkan kodratnya
sebagai guru, ia bekerja tak ubahnya seorang upahan yang semata-mata
mengharapkan gaji untuk kebutuhan perut. Dampak yang terjadi ialah guru tidak
lagi bekerja sebagai seorang pendidik, ia hanya seorang pengajar yang
mengajarkan materi-materi pembelajaran yang tekstual, salinan dari buku yang
sebenarnya bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Ilmu kependidikan tidak dipergunakan
lagi. Nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan yang terkandung dalam pelajaran
menjadi terabaikan dan hilang, yang tersisa hanya angka-angka kosong yang
digoreskan oleh sang kuli dalam buku yang namanya laporan pendidikan.
ilustrasi: uniksaja92.blogspot.com |
Yang
paling menyedihkan, semakin hari makin tidak karuan saja perilaku perilaku yang
ditunjukkan oleh para patriot bangsa ini (oknum). Hal-hal tidak senonoh mereka
pertontonkan kepada publik dan para siswa didiknya, sering kita melihat di tv
atau baca di koran, oknum guru yang melakukan kekerasan terhadap siswa, atau
oknum guru yang berbuat mesum di sekolah atau guru yang melakukan pelecehan
seksual terhadap siswa. Tindakan kekerasan seringkali diarahkan pada siswa yang
dianggap bodoh. hal ini sebenar bukanlah langkah tepat dari seorang guru dengan
dasar ilmu pendidikan yang baik. Dalam menangani siswa yang mengalami kesulitan
belajar perlu memperhatikan prosedur-prosedur tertentu, misalnya, untuk siswa
memiliki kesulitan dalam pelajaran tertentu, guru dalam melakukan
penanggulangan diharapkan menggunakan langkah-langkah diagnosis dan remediasi.
Hukuman pada kasus tertentu mungkin diperlukan tapi sangat sedikit membawa efek
positif. Tindakan yang manusiawi dari seorang guru membawa kesan
tersendiri bagi para siswa.
Yang
mengherankan, mengharukan, menjengkelkan ialah tindakan beberapa oknum guru
yang melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap para siswa didiknya sendiri,
yang dikenal oleh masyarakat dengan ungkapan pagar makan tanaman. Wajar
kalau masyarakat menyebutnya sebagai pagar makan tanaman, sebab para siswa itu
seyogianya merupakan titipan dari orang tua pada guru yang bersangkutan, karena
guru tersebut dianggap mampu mendidik, mengajar, dan menjaga anaknya. Tetapi
fakta yang didapat berkata lain, kepercayaan yang diberikan dirusak oleh
moralitasi guru yang buruk. Untuk kasus seperti ini seharus pihak-pihak terkait
perlu mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang bersangkutan. Melakukan
pembiaran terhadap yang bersangkutan ibarat menyembunyikan luka yang pada
akhirnya mematikan. Tindakan mereka tersebut sudah merusak tatanan dan kultur
pendidikan dari sekolah sebagai institusi pendidikan (tempat pembentukan moral
manusia). Dan juga sebenarnya yang bersangkutan sudah tidak lagi mempunyai
kredibiltas sebagai seorang guru. Solusi terbaik berhenti dan tidak pernah
bermimpi lagi untuk menjadi seorang guru. Pada dirinya tak berlaku lagi
ungkapan filosofi jawa: "Guru digugu lan ditiru", ungkapan
yang pantas baginya ialah "Guru wagu lan saru".
Segala tindakan manusia adalah cerminan dari
kompetensi pendidikan yang ia miliki, nilai akademik yang tinggi tidak menjamin
seseorang akan menjadi pribadi yang baik dan berkualitas. Pantaskanlah diri
kita sebagai manusia yang berkualitas sesuai dengan nilai kita miliki dengan
perilaku yang manusiawi.