Senin, 17 Juni 2013

MENELANJANGI TOLERANSI PENDIDIKAN ("Semoga aku tak terbawa arus" – Refleksi Guru muda)



Ini bukan pembangkangan, ini sebuah keprihatinan, keprihatinan pada masa depan anak bangsa sebagai masa depan bangsa. Mereka menjadi korban sistem yang keliru dari penguasa dan juga naluri kepahlawan yang semu dari para pendidik di bangsa ini. Kita marah pada Negara, karena kita selalu menjadi juru kunci jika soal prestasi, tapi kita tidak pernah marah pada moralitas kita yang terlalu loyal untuk mengabdi pada kebodohan, menuhan rasa prihatin.


Satu hal yang menurut saya keliru ialah pemberlakuan sistem standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Maksud dari KKM sangat mulia, yakni membuat ukuran yang pasti mengenai keberhasilan dari suatu proses belajar mengajar. Tapi juga dibalik itu ada suatu niat jahat yang mungkin tidak banyak orang menyadari akan hal ini. Yaitu, ada niat terselubung untuk mensiasati nilai kelulusan siswa. KKM yang tinggi dan keharusan bagi setiap siswa untuk memenuhi KKM maka akan dapat mendongkrak rata-rata kelulusan, sedangkan disisi lain standar kelulusan lebih rendah dari KKM. Artinya siswa dengan nilai Ujian Nasional aliran nasakom (nasib satu koma) sekalipun akan lulus. Guru diharuskan untuk mengadakan ujian remidial berulang-ulang bagi siswa yang tidak tuntas sampai siswa yang bersangkutan mencapai KKM, dan guru yang memiliki siswa tidak tuntas dianggap gagal dan menyelenggarakan KBM.  Jika dicermati, ini adalah pemaksaan secara tidak langsung bagi guru, dan dapat dipastikan akan terjadi main serong dari guru-guru mata pelajaran. Karena pastinya tak ada guru yang mau dianggap gagal, dengan keterbatasan waktu dan kerjaan nyambi untuk memenuhi kebutuhan hidup (bagi honorer), jalan pintas mark up nilai. Mark up nilai  biasanya jauh diatas KKM, hampir mencapai nilai sempurna.

Memang tak semua guru melakukan mark up, tapi nasib guru yang ini akan ditentukan pada saat pengadilan terkahir. Pengadilan terakhir merupakan waktu yang paling saya benci ialah saat rapat nilai dan kenaikan kelas. Saat itu ialah saat paling genting bagi para siswa di bawah KKM. Nasibnya akan dipertaruhkan dalam pertarungan seru antara toleransi versus idealisme. Jika menang maka siswa dapat lenggang kangkung melangkahi tuan KKM, jika kalah ia akan menangis darah, tapi tak usah kwatir karena tak ada sejarah bahwa toleransi itu kalah. Hal ini didasarkan pada peri kemanusiaan yang dimiliki oleh sang guru pahlawan tanpa tanda jasa yang tak rela melihat anaknya bersedih. Sebuah ironi memang, segala penilaian yang dilakukan sepanjang semester akan menjadi sia-sia oleh kompromi dan toleransi kemanusiaan. Jika dicermati kembali, toleransi ini tidaklah sehat bahkan suatu ketika akan membunuh siswa tesebut dikala ia sendiri. Sendiri yang dimaksudkan ialah suatu ketika dia mungkin akan bertemu dengan orang lain yang memiliki toleransi tak sebesar bapak/ibu guru saat ini. Tak ada lagi tangan-tangan yang menolong, maka nama baik guru, kualitas lembaga saat ini akan menjadi taruhannya.

Salah satu cara untuk mendobrak selangkangan moralitas ironi, kasih yang membunuh, cinta yang mencekik itu, ialah merubah pola pikir bahwa tidak harus seluruh siswa mencapai KKM, jika ada yang tidak pantas jangan dipaksakan untuk pantas, relakan ia memantaskan diri ditempat yang pantas baginya.

Ada fakta yang sedikit mengusik ketenangan batin saya, yakni ada tindakan yang menjauhkan pendidikan dari marwah dan tujuannya. Salah satunya tadi ialah kasih yang semu, yang me-ninabobo-kan anak didik, yang membuat  anak didik itu tidak tahu bahwa ia tidak tahu, dan bahwasanya guru sangat tahu bahwa siswa tidak tahu. Tujuan pendidikan yang semulanya ialah memanusiakan manusia menjadi manusia ideal, dibelokkan oleh kasih semu tanpa arah dan tujuan yang jelas. Contoh, siswa dengan pertimbangan umurnya yang lebih tua dari teman-teman setingkatnya, diluluskan karena alasan ia sudah tua. Seolah tujuan pendidikan ialah mendidik orang menjadi tua. Setelah itu guru ditingkat yang lebih tinggi bersungut-sungut karena siswa yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan dasar semisal membaca atau menulis. Mulai menyalahkan siswa yang tidak belajar. Inilah sifat lempar tanggungjawab yang dianut kaumku. Padahal sesungguhnya kesalahan itu ada pada guru, siswa sama sekali tidak salah apa-apa. Sebab ia tidak kalau dia tidak bisa, ia tahu bahwa ia bisa, buktinya ia bisa naik kelas. Yang pada akhirnya lahir generasi masa depan generasi sok tahu yang dia sendiri tidak tahu bahwa ia sedang sok tahu. 


Salam Perubahan

3 komentar:

  1. Salam Kenal Bro. Saya sangat prihatin dengan nasib generasi muda anak-anak SUMBA pada umumnya. Tidak semua tapi ini memang merata. Saya memang pendatang, tapi saya ingin dan ikut berpartisipasi mencerdaskan anak-anak SUMBA. Rata-rata guru yang sudah PNS di SUMBA BARAT DAYA pemalas. Bagaimana anak-anak mau cerdas, guru nya saja masuk cuma 2 kali dalam 1 semester. Kalau GAJIAN waduh tidak pernah ABSEN tapi kalau datang sehari hari untuk mengajar pasti ABSEN. Kasihan generasi muda SUMBA, Mungkin di SUMBA TIMUR tidak begitu ya. Saya kadang pun terbawa arus PEMALAS ...

    BalasHapus
  2. Sama juga Bro, tidak jauh berbeda, sakit hati lihat semua ini

    BalasHapus
  3. Benar sekali Guru. Nanti malah jadi pengguna jurus "aji mumpung".
    "kan nanti nilai dinaikan, jadi buat apa belajar". kan kan kan kan...
    Apakah demikian yg diharapkan??
    Tentu tidak.

    BalasHapus