Rabu, 21 November 2012

Dunia Kerja Berpaling pada Karakter

A. Didiek Dwinarmiyadi 
(alumni PBI, 1977)
Praktisi SDM, tinggal di Jakarta
Rosabeth Moss Kanter (1997), seorang profesor dari Harvard, mengatakan bahwa agar dapat berkompetisi secara efektif, perusahaan harus menarik (merekrut), mempertahankan, memotivasi dan mendayagunakan orang-orang paling potensial yang bisa diperoleh. Persoalannya adalah sulit memperoleh orang-orang yang potensial. Kesulit  annya bukan untuk mendapatkan calon pekerja tetapi mendapatkan mereka yang memenuhi syarat/kriteria perusahaan. Secara umum persyaratan jabatan meliputi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan sikap (Attitude).

Walaupun pengetahuan dan ketrampilan memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan     seseorang di pekerjaannya, namun belakangan diketahui keduanya bukan penentu keberhasilan. Sikap (attitude) dalam bekerja ternyata dianggap lebih menentukan. Penelitian dari David C.Mcleland (1973) menemukan bahwa kepandaian (intelligence) memang mempengaruhi kinerja, tetapi karakteristik pribadi lebih bisa membedakan antara yang berhasil dan yang tidak berhasil.

Kondisi pasar tenaga kerja
Para Manajer SDM  mengeluh tidak mendapat calon tenaga kerja yang dibutuhkannya. Sebagai contoh sebuah perusahaan media di Jakarta perlu menyeleksi sekitar 100 lamaran untuk bisa memperoleh satu orang calon wartawan. Setelah  mendapatkan kandidat potensial tidak berarti mereka siap kerja, perusahaan masih harus keluar biaya untuk mengadakan pelatihan sampai mereka mampu bekerja.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Antara lain karena adanya kesenjangan pada dunia pendidikan dengan dunia kerja. Memang dunia pendidikan tidak mutlak harus menyesuaikan tujuannya untuk memenuhi pasar tenaga kerja karena memang juga ada tujuan-tujuan lain. Namun harapan bahwa dunia kerja dapat memperoleh tenaga kerjanya dari lulusan perguruan tinggi adalah juga harapan yang wajar.

Sebenarnya kesenjangan yang terjadi bukan semata karena kemampuan pengetahuan dan ketrampilan yang kurang memadai. Banyak tenaga kerja memiliki IPK di atas 3 (skala 4). Namun persoalannya mereka kurang menampakkan sikap (attitude) sebagai seorang sarjana yang memiliki kemampuan memadai.. Hal ini
tampak dari jawaban-jawaban yang diberikan pada saat wawancara. Walaupun IPK tinggi, mereka tampak tidak menguasai bidang studinya sendiri (kadang dengan alasan lupa karena sudah lama). Mereka kadang kurang percaya diri, dorongan untuk berprestasi diragukan karena tidak memahami keinginannya sendiri. Kemampuan berpikir analitis dan konseptual lemah. Ini tercermin dari tutur katanya waktu menjawab yang tidak runtut dan cenderung tidak fokus pada pertanyaannya.

Demikian pula kalau kita telusur kompetensi perilaku lainnya. Rata-rata mereka memiliki kelemahan yang sama. Apakah memang tidak ada harapan? Tentu saja harapan itu ada, tetapi para Manajer SDM harus bersusah payah untuk mengadakan seleksi dengan ratio 1 : 100 atau mungkin lebih. 

Kontribusi Perguruan Tinggi
Banyak usaha telah dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi untuk meningkatkan mutu lulusannya agar terserap di pasaran tenaga kerja. Mulai dari peningkatan kualitas para staf pengajar/dosen sampai memperbaiki sistem pendidikan dengan program  Link and Match telah dilakukan. Kalau sampai sekarang hasilnya belum memuaskan mungkin perlu dicari faktor-faktor lain yang mempengaruhi.

Faktor lain tersebut mungkin bisa disimak dari pendapat Rektor Universitas Sanata Dharma Paul Suparno di Buku Pendidikan Manusia Indonesia. “Banyak dosen di FKIP atau universitas pendidikan yang bermutu dalam bidang keahlian mereka. Namun yang sering dikeluhkan para mahasiswa adalah sikap mereka kepada mahasiswa yang masih  sering tidak demokratis, kurang terbuka, dan kurang berdialog dengan mahasiswa”. Apakah sikap dosen ini ikut menyumbang pada mutu lulusan yang lemah dalam kompetensi perilaku? Dugaan ke arah itu rasanya bisa dipahami namun untuk kebenarannya tentu saja perlu penelitian tersendiri.

Memang untuk masa sekarang ini, lulusan perguruan tinggi yang pandai dengan IPK tinggi saja rasanya tidak mencukupi. Perusahaan-perusahaan telah mulai mengidentifikasi bahwa karyawan yang berhasil bukan yang pandai tetapi justru yang memiliki karakter. Karakter atau watak yang kemudian didekati dengan  istilah kompetensi perilaku (soft competencies) menjadi pertimbangan utama dalam menerima karyawan atau tenaga kerja. Untuk itu rasanya lembaga pendidikan tinggi juga perlu mempertimbangkan dengan serius bila ingin lulusannya diserap dunia kerja. Sikap atau perilaku dosen yang otoriter, gila hormat, dan mengajar hal yang itu-itu saja perlu diperbaiki. Dosen perlu memberikan contoh sebagai pribadi yang memiliki integritas, membangun hubungan interpersonal yang baik, memiliki daya analisa dan konseptual tinggi, bisa mengembangkan dirinya sendiri maupun orang lain (mahasiswa). Perguruan tinggi perlu lebih memberi perhatian pada kompetensi perilaku mahasiswanya, selain tetap meningkatkan mutu pengajarannya.

Sebenarnya Universitas Sanata dharma (d/a IKIP Sanata Dharma) telah memiliki kualitas dosen yang bukan hanya pandai dan ber mutu tetapi juga bisa memberikan contoh keteladanan dalam hal-hal yang disebut di atas. Itulah sebabnya para lulusan yang menjadi guru tersebar di hampir sekolah-sekolah yang bermutu dan favoritdi negeri ini. Demikian pula lulusan yang bergerak di bidang lain memiliki karakter pribadi yang menonjol dan bisa diandalkan. 

Sumber:
KASADHAR • No. 7/Th. VII/Juli 2008 (halaman 27-28)
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar